Human metapneumovirus (hMPV) pertama kali diidentifikasi pada tahun 2001 oleh tim peneliti di Belanda, meskipun bukti serologis menunjukkan virus ini telah beredar sejak 1950-an. Sebagai anggota keluarga Pneumoviridae, hMPV terkait erat dengan respiratory syncytial virus (RSV), tetapi memiliki karakteristik unik, termasuk ketiadaan protein non-struktural NS1 dan NS2 yang khas pada RSV. Infeksi hMPV biasanya terjadi pada anak-anak di bawah lima tahun, dengan prevalensi hingga 90% pada populasi ini sebelum usia dua tahun.
Pola musiman virus ini sering ditemukan pada musim semi dan musim dingin di belahan bumi utara. Di daerah tropis, infeksi hMPV dilaporkan memiliki pola yang lebih variatif, sering kali terkait dengan musim hujan.
Human metapneumovirus (hMPV) adalah virus RNA untai tunggal negatif dengan panjang genom sekitar 13.000 nukleotida. Genom ini mengkode sembilan protein yang memainkan peran penting dalam siklus hidup virus. Protein-protein utama meliputi protein fusi (F) yang memungkinkan masuknya virus ke dalam sel inang melalui fusi membran, dan protein G yang berperan dalam pengikatan reseptor pada permukaan sel target
Protein G merupakan protein yang sangat bervariasi di antara strain hMPV, memberikan kemampuan virus untuk menghindari deteksi oleh sistem imun. Selain itu, protein F mengandung motif RGD (arginin-glisin-asam aspartat) yang berinteraksi dengan integrin, membantu penempelan virus ke sel inang. Studi menunjukkan bahwa mutasi pada gen F dan G sering kali menjadi dasar klasifikasi hMPV ke dalam subtipe A1, A2 (A2a, A2b, A2c), B1, dan B2
hMPV juga memiliki protein kecil hidrofobik (SH) yang diperkirakan memainkan peran sebagai viroporin atau penghambat sistem imun bawaan. Meskipun demikian, protein ini tampaknya tidak sepenuhnya esensial untuk replikasi virus, karena strain mutan tanpa gen SH tetap mampu bereplikasi di dalam sel inang.
Infeksi hMPV menghasilkan respons imun bawaan yang lemah. Mekanisme ini sebagian besar disebabkan oleh kemampuan protein G untuk menekan jalur interferon melalui penghambatan reseptor pola (PRRs) seperti TLR dan RIG-I. Akibatnya, jalur pensinyalan yang diinduksi interferon menjadi terhambat, menyebabkan produksi sitokin pro-inflamasi yang rendah dan aktivasi imun yang tertunda.
Respons imun adaptif terhadap hMPV didominasi oleh profil Th2 yang tidak seimbang. Produksi sitokin seperti IL-4 dan IL-5, yang biasanya menginduksi respons alergi, mendukung produksi lendir berlebih dan infiltrasi eosinofil di jaringan paru-paru. Pada kasus yang parah, ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kolaps saluran napas.
Selain itu, infeksi hMPV juga menginduksi sitokin Th17 seperti IL-6 dan TNF-α, yang memperburuk peradangan lokal. Kombinasi dari respons Th2 yang dominan dan aktivasi Th17 yang tidak terkontrol dapat menyebabkan bronkiolitis berat, pneumonia, dan eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronis (COPD).
Gejala klinis infeksi hMPV mencakup demam, batuk, sesak napas, hingga bronkiolitis dan pneumonia berat. Pada anak-anak, mengi (wheezing) sering ditemukan, sedangkan lansia dengan penyakit paru-paru kronis seperti COPD cenderung mengalami eksaserbasi.
Diagnostik berbasis molekuler seperti RT-PCR adalah metode utama untuk mendeteksi RNA virus ini. Alternatif lainnya, seperti RT-LAMP, menawarkan pendekatan yang lebih cepat dan ekonomis dalam lingkungan sumber daya terbatas.
CT scan sering menunjukkan pola opasitas ground-glass yang khas pada pneumonia akibat virus. Pemeriksaan tambahan seperti multiplex PCR dapat memberikan diagnosis yang lebih komprehensif, terutama untuk membedakan antara infeksi hMPV dan RSV.
Pendekatan tradisional dalam mendukung imunitas dapat menjadi pelengkap terapi suportif. Berikut adalah racikan herbal khas Indonesia:
Sebagai virus lama, hMPV dapat dikelola dengan baik dengan pendekatan diagnostik modern dan dukungan terapi yang tepat. Selain itu, pemanfaatan ramuan herbal khas Indonesia dapat menjadi pelengkap untuk mendukung pemulihan dan daya tahan tubuh. Dengan penelitian lanjutan dan pengembangan vaksin, dampak klinis virus ini diharapkan dapat diminimalkan.
Terapi hMPV berfokus pada perawatan suportif karena belum ada antivirus spesifik yang disetujui. Pada kasus ringan, terapi mencakup istirahat, hidrasi yang cukup, dan obat pereda gejala seperti antipiretik untuk demam. Jika gejala berupa hidung tersumbat atau batuk, dekongestan dan pelembap udara dapat membantu meringankan ketidaknyamanan.
Pada kasus berat, terutama pada pasien dengan pneumonia atau hipoksemia, terapi oksigen diperlukan untuk mempertahankan saturasi oksigen yang optimal. Pasien yang dirawat di rumah sakit mungkin membutuhkan ventilasi mekanis non-invasif atau invasif tergantung pada tingkat kegagalan pernapasan. Penggunaan kortikosteroid dapat dipertimbangkan dalam kasus dengan peradangan parah, tetapi harus hati-hati karena potensi imunosupresi.
Manajemen pada kelompok rentan, seperti anak-anak kecil, lansia, dan individu imunokompromais, memerlukan pendekatan khusus. Terapi eksperimental seperti imunoglobulin intravena (IVIG) dan ribavirin aerosol telah digunakan dengan hasil yang bervariasi. Pendekatan multidisiplin yang melibatkan dokter spesialis paru, imunologi, dan perawatan intensif sangat penting untuk memastikan manajemen yang terkoordinasi dan hasil yang optimal pada pasien dengan hMPV.
Strategi pencegahan Human metapneumovirus (hMPV) difokuskan pada langkah-langkah kebersihan dasar dan pengendalian infeksi. Cuci tangan dengan sabun selama minimal 20 detik adalah cara paling efektif untuk mencegah penyebaran virus. Hindari menyentuh wajah, terutama mata, hidung, dan mulut, sebelum mencuci tangan. Menutup mulut dan hidung saat batuk atau bersin menggunakan tisu atau siku bagian dalam juga membantu mengurangi penularan.
Pencegahan pada kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan individu dengan sistem imun lemah membutuhkan perlindungan tambahan. Hindari kontak langsung dengan individu yang menunjukkan gejala infeksi saluran pernapasan. Selain itu, desinfeksi rutin pada permukaan benda yang sering disentuh, seperti meja, gagang pintu, dan mainan, dapat mengurangi risiko paparan virus. Institusi seperti sekolah dan panti jompo dapat menerapkan kebijakan isolasi bagi individu yang sakit untuk memutus rantai penularan.
Pengembangan vaksin juga menjadi strategi jangka panjang untuk mencegah infeksi hMPV. Kandidat vaksin berbasis protein fusi (F) saat ini sedang dalam tahap uji klinis dan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hingga vaksin tersedia, pendekatan berbasis komunitas seperti edukasi kesehatan, peningkatan kesadaran akan kebersihan, dan akses terhadap fasilitas sanitasi yang memadai harus terus diperkuat. Langkah-langkah ini tidak hanya melindungi individu tetapi juga membantu mencegah penyebaran virus secara luas.
Ditulis Oleh Dokter Dito Anurogo, M.Sc., Ph.D.(Cand.)
Kamis, 02 Januari 2025
Tim TGC Balai Kekarantinaan Kesehatan Kelas I Ternate berhasil mengevakuasi salah seorang Anak Buah Kapal (ABK) KM. Inkamina-283 yang diduga jatuh pingsan saat melakukan aktifitas memancing di perairan Pulau Hiri, Provinsi Maluku Utara. Setelah mendapat laporan dari petugas pengawasan Perikanan Pelabuhan Dufa-Dufa Ternate. Korban kemudian di jemput dengan ambulans BKK Ternate untuk di rujuk ke Rumah Sakit terdekat yaitu RS Islam PKU Muhamadiyah Ternate untuk mendapatkan perawatan medis lebih lanjut namun nyawa korban tidak dapat tertolong dan dinyatakan meninggal dunia dengan penyebab kematian diduga serangan jantung.
Tim TGC Balai Kekarantinaan Kesehatan Kelas I Ternate yang terdiri dari Tim Medis dan Tim Surveilans kemudian melakukan pemeriksaan kesehatan dan pendataan terhadap Anak Buah Kapal (ABK) KM. Inkamina-283 yang berjumlah 14 orang dengan hasil pemeriksaan tidak ditemukan penyakit menular berpotensi wabah yang dapat menyebabkan kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Korban kemudian dibawah oleh keluarga untuk di makamkan di Desa Toniku Kec. Jailolo Kab. Halmahera Barat.
Narasi : Dasri Saleh, SKM (Tim PPID)
Skrining TB sekaligus pemeriksaan Kesehatan gratis (Tekanan darah, Gula darah, Asam urat dan Kolestrol) oleh Balai Kekarantinaan Kesehatan Kelas I Ternate
Dalam rangka mendukung program peningkatan kesehatan masyarakat, Balai Kekarantinaan Kesehatan Kelas I Ternate dalam hal ini Tim Kerja IV menyelenggarakan kegiatan skrining kesehatan untuk mendeteksi dini Tuberkulosis (TB) dan Penyakit Tidak Menular (PTM). Kegiatan ini berlangsung pada 29 November 2024 di Pelabuhan Ferry Bastiong dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat pelabuhan.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya deteksi dini penyakit. “Tuberkulosis dan PTM seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung merupakan ancaman serius yang dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin. Melalui skrining ini, kami berharap masyarakat lebih peduli terhadap kesehatannya.
Skrining meliputi pemeriksaan gejala TB, pengukuran tekanan darah, gula darah, Kolestrol, asam urat dan edukasi kesehatan. Selain itu, peserta juga mendapatkan informasi mengenai langkah pencegahan dan penanganan awal penyakit.
Sejumlah warga yang hadir menyambut baik kegiatan ini. “Kami sangat terbantu dengan adanya skrining ini. Selain mengetahui kondisi kesehatan, kami juga diberi pengetahuan untuk menjaga pola hidup sehat,” ujar salah satu peserta.
Melalui kegiatan ini, BKK Ternate berharap dapat mendukung upaya pemerintah dalam menekan angka kasus TB dan PTM di masyarakat, sekaligus mewujudkan masyarakat yang lebih sehat dan produktif.
Reporter : Maradi Hasan, Editor : Awal Kharisanto
Penulis : Trisno, Amd. Kep (TIM PPID)
Penyakit infeksi emerging yang berkembang pada minggu epidemiologi ke-44 tahun 2024 meliputi Mpox, COVID-19, Avian Influenza A(H5N1) pada manusia, burung dan unggas, Polio, Demam Lassa, Penyakit virus West Nile, Legionellosis, Suspek Legionellosis, Penyakit virus Marburg, Meningitis Meningokokus, Listeriosis, dan Demam Kuning. Dokumen selengkapnya terkait "Perkembangan Situasi Penyakit Infeksi Emerging pada Minggu Epidemiologi ke-44 Tahun 2024" dapat dilihat dan didownload (PDF) dalam link berikut!
Penyakit infeksi emerging yang berkembang pada minggu epidemiologi ke-43 tahun 2024 meliputi Mpox, COVID-19, Avian Influenza A(H5N1) pada burung dan unggas, Polio tipe cVDPV2, Demam Lassa, Penyakit virus West Nile, Legionellosis, Suspek Legionellosis, Penyakit virus Marburg, Meningitis Meningokokus, Listeriosis, Crimean-Congo Haemorrhagic Fever (CCHF), dan Demam Kuning. Dokumen selengkapnya terkait "Perkembangan Situasi Penyakit Infeksi Emerging pada Minggu Epidemiologi ke-43 Tahun 2024" dapat dilihat dan didownload (PDF) dalam link berikut!
Penyakit infeksi emerging yang berkembang pada minggu epidemiologi ke-43 tahun 2024 meliputi Mpox, COVID-19, Avian Influenza A(H5N1) pada burung dan unggas, Polio tipe cVDPV2, Demam Lassa, Penyakit virus West Nile, Legionellosis, Suspek Legionellosis, Penyakit virus Marburg, Meningitis Meningokokus, Listeriosis, Crimean-Congo Haemorrhagic Fever (CCHF), dan Demam Kuning. Dokumen selengkapnya terkait "Perkembangan Situasi Penyakit Infeksi Emerging pada Minggu Epidemiologi ke-42 Tahun 2024" dapat dilihat dan didownload (PDF) dalam link berikut!
Dunia kini tengah dilanda wabah Mpox atau cacar monyet kembali, setelah wabah sebelumnya pada tahun 2022 yang melaporkan lebih dari 30.000 kasus, termasuk di negara-negara yang belum pernah terjangkiti penyakit ini. Surat Edaran Kementerian Kesehatan RI tertanggal 20 Agustus 2024 menyebut terjadinya peningkatan kasus mpox di 16 negara pada bulan Juni 2024, termasuk Indonesia.
Kawasan dengan kasus mpox terbanyak di bulan Juni 2024 adalah Afrika sebesar 60,7% dan Amerika Serikat sebesar 18,7%. Indonesia sendiri melaporkan terjadinya 88 kasus mpox selama kurun waktu 2022-2024, dengan 14 kasus terjadi pada tahun 2024.
Dengan mempertimbangkan peningkatan potensi penularan mpox, Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization) telah menyatakan kondisi darurat global kesehatan atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) pada 14 Agustus 2024.
Mpox atau penyakit cacar monyet disebabkan oleh virus monkeypox (MPXV), yang merupakan anggota keluarga genus orthopoxvirus, yaitu keluarga yang sama dengan virus variola, penyebab penyakit cacar (smallpox).
Penyakit Monkeypox pertama kali ditemukan pada manusia di Kongo Afrika pada tahun 1970, dan paling banyak diderita oleh orang-orang di Afrika Barat dan Afrika Tengah. Sekarang, penyakit monkeypox juga menyebar ke negara-negara di luar Afrika. Demi menghindari kesan rasisme dan stigmatisasi, pada tanggal 28 November 2022 penyakit monkeypox berganti sebutan menjadi mpox.
Seiring dengan pertambahan kasus penyakit mpox dan kekhawatiran masyarakat terhadap dampak kesehatan penyakit ini, berbagai informasi keliru tentang mpox semakin banyak beredar di masyarakat. Apa saja mitos dan fakta tentang mpox yang kita dengar akhir-akhir ini, dan perlu kita telaah kebenarannya?
Penyakit cacar monyet atau mpox pada awalnya memang merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia. Penularannya melalui gigitan dan cakaran hewan yang terinfeksi, atau kontak fisik dengan lesi, cairan, darah dan daging hewan yang terinfeksi.
Meski demikian, penularan mpox kini juga terjadi dari manusia ke manusia, melalui sentuhan kulit ke kulit, ciuman, oral dan hubungan seksual, serta kontak langsung dengan lesi dan cairan tubuh orang yang terinfeksi. Virus mpox juga dapat masuk ke dalam tubuh lewat hidung dan mulut, melalui kontak langsung dengan permukaan benda-benda yang telah terkontaminasi virus mpox, serta barang-barang yang digunakan oleh penderita mpox, seperti pakaian, handuk, dan tempat tidur.
Penyakit mpox tidak berbahaya bagi orang-orang yang mengalami gejala ringan, seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, lemas, ruam dan lesi pada kulit tubuh.
Namun, pada orang-orang yang memiliki kekebalan tubuh rendah, seperti bayi dan anak-anak, ibu hamil, lansia, serta orang-orang dengan gangguan kekebalan tubuh, seperti imunosupresan, penyakit autoimun, dan HIV, gejala penyakit mpox bisa berkembang menjadi lebih berat, bahkan menimbulkan komplikasi hingga kematian.
Faktanya, vaksin memberi perlindungan terhadap infeksi virus mpox dan komplikasi penyakit berat, dengan membangun kekebalan tubuh terhadap serangan virus mpox. Saat ini, vaksin yang tersedia adalah vaksin cacar yang digunakan untuk mencegah penyakit smallpox (cacar), dan telah diteliti dan dikembangkan sehingga dapat digunakan untuk memberi perlindungan terhadap mpox.
Namun, karena ketersediaannya secara global masih terbatas, pemberian vaksin ini diprioritaskan kepada orang-orang yang paling berisiko terkena mpox, yaitu orang-orang yang memiliki riwayat bepergian ke wilayah epidemi mpox atau melakukan kontak erat dengan penderita mpox, serta orang-orang dengan gangguan kekebalan tubuh (imunosupresan) dan penyakit autoimun.
Faktanya, mpox bisa menyerang siapa saja dari segala usia, walaupun anak-anak memang lebih rentan karena sistem kekebalan tubuhnya masih lemah. Waspadai risiko terinfeksi virus mpox, terutama bagi orang-orang yang pernah melakukan kontak erat dengan penderita mpox, serta memiliki perilaku hubungan seksual berisiko tinggi.
Covid-19 adalah penyakit yang menyerang paru-paru dan saluran pernapasan atas, yang penularan serta penyebarannya tidak sama dengan mpox atau penyakit cacar monyet. Vaksin yang diberikan untuk memerangi pandemi Covid-19 juga tidak mengandung virus hidup, sehingga tidak ada keterkaitannya dengan kemunculan penyakit cacar monyet di tahun 2022.
Selain itu juga, penyakit cacar monyet sudah ditemukan pada tahun 1958 oleh para peneliti di Denmark yang sedang melakukan penelitian terhadap sekumpulan monyet. Kemudian, penyakit ini ditemukan pertama kalinya pada manusia di tahun 1970, sehingga bukan merupakan penyakit baru seperti Covid-19.
Sebagian besar orang yang terinfeksi mpox biasanya akan mengalami gejala-gejala ringan, seperti demam, sakit kepala, nyeri otot dan sakit punggung, merasa lemas dan kelelahan, serta mengalami pembengkakan kelenjar getah bening.
Kemudian, pada kulit wajah, telapak tangan, telapak kaki dan selangkangan akan muncul ruam atau lesi, yang berawal dari bintik-bintik merah kemudian berkembang menjadi lepuhan berisi cairan bening atau nanah yang gatal. Pada beberapa kasus, ruam dan lesi ini kadang juga muncul di dalam rongga mulut. Namun, semua gejala ini biasanya akan sembuh setelah 2-4 minggu dengan perawatan pendukung dan pengobatan untuk meredakan gejala-gejalanya.
Meski demikian, pada orang-orang dengan gangguan kekebalan dan penyakit penyerta, gejala-gejala mpox bisa berkembang menjadi berat, bahkan menjadi komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian. Contoh komplikasi yang dapat terjadi antara lain infeksi bakteri serius dari luka di kulit, kerusakan pada mata, radang paru-paru (pneumonia), radang otot jantung (miokarditis), dan radang otak (ensefalitis).
Penyakit Mpox tidak dapat sembuh sendiri tanpa perawatan medis. Jika gejala-gejala yang dialami ringan, pengobatan yang dilakukan adalah untuk meredakan gejalanya, seperti pemberian obat pereda nyeri dan demam, serta pemulihan luka. Jangan menggaruk luka, dan bersihkan dengan air antiseptik dan tangan yang telah dicuci bersih, untuk mencegah infeksi pada lesi dan luka. Anda pun dapat mengobati luka-luka yang ada di mulut dengan berkumur air garam.
Selama proses pemulihan, Anda juga harus memastikan kecukupan asupan makanan sehat dan air minum, serta tidur. Anda juga bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan, seperti berolahraga, relaksasi, mendengarkan musik, dan lain sebagainya untuk menjaga kesehatan mental.
Namun, jika gejala-gejala mpox bertambah berat atau menjadi komplikasi, Anda membutuhkan perawatan medis di rumah sakit dan obat antivirus untuk menyembuhkan luka dan mempercepat pemulihan. Contohnya, obat antivirus cidofovir atau tecovirimat, yang biasa digunakan untuk mengobati penyakit cacar (smallpox).
Jangan meremehkan berbagai mitos dan fakta tentang mpox yang Anda dengar, karena bisa menyebabkan kesalahpahaman yang dapat berakibat fatal jika tidak diluruskan. Selalu cari kebenarannya dari sumber-sumber informasi terpercaya, serta jangan segan untuk bertanya kepada tenaga kesehatan perihal penyakit cacar monyet ini.
Penyakit infeksi emerging yang berkembang pada minggu epidemiologi ke-41 tahun 2024 meliputi Mpox, COVID-19, Polio tipe WPV1 dan tipe cVDPV2, Penyakit Virus West Nile, Legionellosis, Meningitis Meningokokus, Listeriosis, Penyakit Virus Marburg, Crimean-Congo Haemorrhagic Fever (CCHF), Demam Lassa, suspek MERS, suspek Legionellosis, Avian Influenza A(H5N1) pada manusia, Avian Influenza A(H5N1) pada sapi ternak, burung dan unggas. Dokumen selengkapnya terkait "Perkembangan Situasi Penyakit Infeksi Emerging pada Minggu Epidemiologi ke-41 Tahun 2024" dapat dilihat dan didownload (PDF) dalam link berikut!
Bandung, 17 Oktober 2024
Permasalahan kurang gizi pada ibu hamil di Indonesia menjadi perhatian Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dan berbagai ahli gizi dunia. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut, Menkes Budi berharap berbagai mikronutrien yang dibutuhkan ibu hamil dapat terpenuhi, sehingga terhindar dari berbagai permasalahan seputar kehamilan seperti anemia yang menjadi faktor risiko berat badan lahir rendah (BBLR), dan stunting.
“Penyakit yang menyerang ibu hamil dan anak-anak itu penyakit gizi. Artinya, gizinya banyak kurangnya. Saya baca dari ibu hamil 4,9 juta, yang kena anemia 27 persen. Itu tinggi banget,” kata Menkes Budi dalam acara peluncuran Multiple Mikronutrien Suplementasi (MMS) yang berlangsung di halaman SMA Negeri 27 Bandung, Jawa Barat, Kamis (17/10).
Menyikapi tingginya angka anemia pada ibu hamil, Menkes Budi bersama lembaga kesehatan dunia dan lembaga kesejahteraan anak seperti WHO dan Unicef merekomendasikan penggunaan suplemen MMS untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ibu hamil.
“Sudah jadi guidance WHO sejak 2020, dan kita baru implementasikan sekarang,” kata Menkes Budi menegaskan.
Menkes Budi menambahkan, berdasarkan penelitian, MMS memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan oleh ibu hamil, sehingga dapat mengurangi berbagi risiko yang menyertai kehamilan.
“Hasil penelitian bilang kalau pakai MMS ini, gizinya ibu hamil akan jauh lebih baik. Kemudian, bayinya lahirnya juga lebih sehat, mengurangi bayi lahir yang pendek, dan juga mengurangi bayi lahir yang stunting, dan juga mengurangi kematian bayi.”
Selain itu Menkes Budi berpesan agar ibu hamil mengonsumsi MMS selama 6 bulan masa kehamilan untuk mengurangi risiko BBLR dan stunting.
“Kalau ingin anaknya sehat atau pintar, minum MMS 180 butir selama 180 hari atau enam bulan terus menerus selama hamil. InsyaAllah anaknya sehat dan pintar,” ujar Menkes Budi.
Mengenai kandungan nutrisi dalam MMS, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Maria Endang Sumiwi menyatakan, setiap tablet MMS mengandung 10 vitamin dan 5 mineral. Nutrisi penting bagi ibu hamil yang terkandung dalam MMS antara lain vitamin A, D, E, C, B1, B2, niasin, B6, B12, asam folat, zat besi, zinc, tembaga, selenium, dan iodin.
“Dalam TTD, terdapat dua kandungan utama, yaitu zat besi dan asam folat. Nah, sekarang dengan multivitamin ini, isinya ditambah sembilan vitamin dan ditambah empat mineral. Jadi, ini Multimicronutrien Supplementation. Jadi, MMS-nya itu dari bahasa Inggris Multi Micronutrient Supplementation,” ujar Dirjen Endang menjelaskan.
Dirjen Maria Endang juga menambahkan, sebagai bentuk dukungan keberlangsungan program MMS multivitamin Ibu Hamil pada masa mendatang, telah diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan NO: HK.01.0/MENKES/1092/2024 tentang Standar Suplemen Zat Gizi Mikro untuk Ibu hamil.
Program MMS yang diluncurkan pada 2024 ini akan dimulai di 209 kabupaten/kota di 15 provinsi terpilih. Pemilihan 15 provinsi ini didasarkan pada angka kejadian BBLR, ibu hamil dengan kekurangan energi kronik (KEK), stunting, populasi padat, dan sasaran ibu hamil yang banyak. Empat provinsi (8 kabupaten/kota) di antaranya merupakan lokasi studi implementasi MMS sebelumnya.
Selain itu, berbagai dukungan lain terkait program MMS di antaranya penerbitan Peraturan Kepala BPOM NO: 15 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 32 Tahun 2022 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Suplemen Kesehatan.
Program MMS juga telah didukung oleh riset implementasi yang dilakukan oleh berbagai universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Hasanudin.
Sebanyak 1,3 juta botol MMS, masing-masing berisi 180 tablet, telah disiapkan untuk didistribusikan kepada ibu hamil. Kemudian, sosialisasi program telah dilakukan di 209 kabupaten/kota pada 15 provinsi yang menjadi lokus program pada 17-24 September 2024.
Untuk mendukung kemandirian produksi, telah dilaksanakan Coaching Clinic guna memperkuat kapasitas industri lokal dalam menyiapkan produk dalam negeri untuk kepentingan program pemerintah, komersial, dan ekspor pada 8-9 Oktober 2024. Kegiatan ini didukung oleh Universitas Padjadjaran dan PHARCI.
“Saya sangat mengapresiasi dukungan para pakar, universitas, dan seluruh pihak yang telah menyiapkan kegiatan ini, juga 15 provinsi dan 209 kabupaten/kota yang telah mendukung pelaksanaan program MMS Multivitamin Ibu Hamil tahun 2024,” ujar Dirjen Maria Endang.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.. (RR)
Plt. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid
Senin, 9 September 2024
Kampanye Simpatik Tolak Suap, Pungli dan Gratifikasi Balai Kekarantinaan Kesehatan Kelas I Ternate dilakukan di Kompleks Bandara Sultan Babullah Ternate